TEORI
KEUNGGULAN MUTLAK
(ABSOLUTE
ADVANTAGE)
Teori keunggulan mutlak dikemukakan oleh Adam Smith (1776)
dalam bukunya The Wealth of Nation. Adam Smith menganjurkan perdagangan
bebas sebagai kebijakan yang mampu mendorong kemakmuran suatu negara. Dalam
perdagangan bebas, setiap negara dapat menspesialisasikan diri dalam produksi
komoditas yang memiliki keunggulan mutlak/absolut dan mengimpor komoditi yang
memperoleh kerugian mutlak. Dengan spesialisasi, masing-masing negara dapat
meningkatkan pertambahan produksi dunia yang dapat dimanfaatkan secara
bersama-sama melalui perdagangan internasional. Jadi melalui perdagangan
internasional yang berdasarkan keunggulan mutlak, masing-masing negara yang
terlibat dalam perdagangan akan memperoleh keuntungan yang serentak melalui
spesialisasi, bukan dari pengorbanan negara lain. Contoh: Indonesia dan India
memproduksi dua jenis komoditi yaitu pakaian dan tas dengan asumsi (anggapan)
masing-masing negara menggunakan 100 tenaga kerja untuk memproduksi kedua
komoditi tersebut. 50 tenaga kerja untuk memproduksi pakaian dan 50 tenaga
kerja untuk memproduksi tas. Hasil total produksi kedua negara tersebut yaitu:
Produk
|
Indonesia
|
India
|
Pakaian
|
40
unit
|
20
unit
|
Tas
|
20
unit
|
30
unit
|
Berdasarkan informasi di atas, Indonesia memiliki keunggulan
mutlak dalam produksi pakaian dibandingkan dengan India, karena 50 tenaga kerja
di Indonesia mampu memproduksi 40 tenaga kerja dan India hanya bisa memproduksi
20 unit. Sedangkan India memiliki keunggulan mutlak dalam memproduksi tas
karena India bisa membuat 30 tas, Indonesia hanya 20 tas. Jadi Indonesia
memiliki keunggulan mutlak dalam produksi pakaian dan India memiliki keunggulan
mutlak dalam produksi tas. Apabila Indonesia dan India melakukan spesialisasi
produksi, hasilnya akan sebagai berikut.
Produk
|
Indonesia
|
India
|
Pakaian
|
40
unit
|
20
unit
|
Tas
|
20
unit
|
30
unit
|
Dengan melakukan spesialisasi hasil produksi semakin
meningkat. Karena Indonesia dan India memindahkan tenaga kerja dalam produksi
komoditi yang menjadi spesialisasi. Sebelum spesialisasi, jumlah produksi
sebanyak 60 unit pakain dan 40 unit tas. Tetapi setelah spesialisasi, jumlah
produksi meningkat menjadi 80 unit pakaian dan 60 unit tas. Jadi keunggulan
mutlak terjadi apabila suatu negara dapat menghasilkan komoditi-komoditi
tertentu dengan lebih efisien, dengan biaya yang lebih murah dibandingkan
dengan negara lain.
TEORI
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Teori
keuntungan komparatif ini dikembangkan oleh David Ricardo, yang menyatakan
bahwa setiap negara akan memperoleh keuntungan jika ia menspesialisasikan pada
produksi dan ekspor yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih
murah, dan mengimpor apa yang dapat diprosuksinya pada biaya yang relatif lebih
mahal.
Ilustrasinya dapat dilihat pada
tabel berikut :
Kebutuhan Jam Kerja untuk
Produksi
Produk
|
Amerika
|
Eropa
|
Pizza
|
1
|
3
|
Pakaian
|
2
|
4
|
Agar terlihat
sederhana, diasumsikan ada dua negara (Amerika dan Eropa) dan dua output (pizza
dan pakaian). Keduanya memiliki sumber daya masing-masing 120 jam tenaga kerja
(TK) untuk memproduksi pizza dan pakaian. Namun Amerika mampu memproduksi i
unit pizza dengan 1 jam TK dan 1 unit pakaian dengan 2 jam TK. Sedangkan Eropa
membutuhkan 3 jam TK untuk memproduksi 1 unit pizza dan 4 jam TK untuk pakaian.
Sekedar keterangan, Amerika
mampu memproduksi keduanya dengan jam TK (input) yang lebih sedikit daripada
Eropa. Menurut Teori Keuntungan Absolut (Absolute Advantage), Amerika
seharusnya memproduksi keduanya sendiri. Namun tidak demikian menurut teori
keuntungan komparatif. Kita lihat perbandingannya dibawah dengan menggunakan
teori keuntungan komparatif :
Sebelum melakukan
perdagangan, produksi di kedua negara
menghasilkan upah riil yang berbeda bagi TK. Upah riil bagi TK di Amerika
adalah 1 pizza atau 1/2 pakaian. Sementara di Eropa, upah riil TK hanya 1/3
pizza atau 1/4 pakaian. Artinya upah di Eropa lebih rendah dibandingkan di
Amerika dan TK di Eropa memiliki daya beli yang relatif lebih kecil. Ini
tentunya juga menimbulkan perbedaan biaya produksi, dan jika pasar adalah
persaingan sempurna, harga pizza dan pakaian akan berbeda di kedua negara.
Sementara itu, mari kita lihat
berapa total output yang mampu diproduksi kedua negara tanpa melakukan
perdagangan. Jika diasumsikan dari total 120 jam TK (input) yang tersedia di
tiap negara separuhnya dialokasikan untuk produksi pizza dan separuhnya lagi
dialokasikan untuk produksi pakaian, maka total produksi kedua negara adalah
sebagai berikut :
Kebutuhan jam Tenaga Kerja untuk
Produksi
Produk
|
Amerika
|
Eropa
|
Pizza
|
60
|
20
|
Pakaian
|
30
|
15
|
Total
|
90 + 35
= 125
|
Dengan input
120 jam TK yang dimiliki masing-masing negara, jika dialokasikan
separuh-separuh, Amerika mampu memproduksi 60 pizza (60 jam TK / 1) dan 30
pakaian (60 jam TK / 2). Sedangkan Eropa mampu memproduksi 20 pizza (60 jam TK
/ 3) dan 15 pakaian (60 jam TK / 4). Dengan demikian, total produksi yang
dihasilkan kedua negara adalah 125 unit, yang terdiri dari pizza dan pakaian.
Menurut teori keuntungan
komparatif, Amerika seharusnya hanya memproduksi pizza dan Eropa memproduksi
pakaian. Ini karena produksi pakaian relatif lebih mahal bagi Amerika, dengan
rasio harga produksi 2 dibandingkan dengan 4/3 yang mampu diproduksi Eropa
(lihat gambar 1). Sedangkan pizza relatif lebih mahal bagi Eropa karena rasio
harga produksinya adalah 3/4 dibandingkan dengan 1/2 yang mampu diproduksi
Amerika (lihat gambar 1). jadi, perbandingan dalam teori ini adalah berdasarkan
harga relatif di kedua negara, bukan hanya di satu negara.
Sebenarnya,
jika tidak ada regulasi larangan ekspor-impor, perdagangan antar ekduanya akan
tercipta secara alamiah. Jika keduanya terus memproduksi pizza dan pakaian
sendiri (tidak melakukan perdagangan), maka akan terjadi perbedaan harga yang
akan mendorong arbitrasi. Dengan asumsi biaya transpotasi tidak ada atau relatif
sangat kecil, Amerika kemudian akan mengekspor pizza ke Eropa dan Eropa akan
mengekspor pakaian ke Amerika. Karena biaya produksi yang lebih murah, harga
pizza Amerika yang diekspor juga akan lebih murah dan ini mendorong harga pizza
di Eropa turun. JIka harga pizza di eropa terlalu rendah bagi produsen Eropa,
mereka akan menutup produksinya karena tidak menguntungkan lagi. Akhirnya
mereka akan beralih ke produksi yang lebih menguntungkan, yaitu pakaian.
Sedangkan kebutuhan pizza di Eropa akan dipenuhi dengan impor. Hal yang sama
juga terjadi terhadap pakaian di Amerika. Pada akhirnya, perbedaan harga akan
membuat Amerika hanya memproduksi Pizza dan Eropa hanya memproduksi pakaian.
Setelah melakukan
perdagangan, total output kedua negara adalah
sebagai berikut :
Kebutuhan jam Tenaga Kerja untuk
Produksi
Produk
|
Amerika
|
Eropa
|
Pizza
|
120
|
0
|
Pakaian
|
0
|
30
|
Total
|
120 +
30 = 150
|
Pada gambar
diatas, Amerika menggunakan semua inputnya (120 jam TK) untuk memproduksi pizza
saja, sehingga menghasilkan 120 pizza (120 jam TK / 1). Sedangkan Eropa
menggunakan semua inputnya untuk memproduksi pakaian saja, sehingga
menghasilkan 30 pakaian (120 jam TK / 4). Ternyata total output kedua negara
meningkat dengan melakukan spesialisasi produksi ini, yaitu menjadi 150 unit.
Ilustrasi diatas menjelaskan
mengapa negara-negara perlu melakukan perdagangan internasional dan bagaimana
negara yang terlibat saling memperoleh keuntungan.