A. LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Demikian pula di sektor riil, seperti Hotel Syariah, Multi Level Marketing Syariah,dsb.
Perkembangan perbankan menurut data Bank Indonesia mengalami kemajuan yang spektakuler. Jika sebelum tahun 1999, jumlah bank syariah sangat terbatas di mana hanya ada sebuah bank syariah, yaitu Bank Muamalat Indoensia dengan beberapa kantor cabang, kini ada 21 bank syariah dengan jumlah pelayanan kantor bank syariah sebanyak 611.
Demikian pula lembaga
asuransi syariah, perkembangannya di Indonesia merupakan yang paling
cepat di dunia. Hanya Indonesia
satu-satunya negara yang memiliki 34 lembaga asuransi syariah, sedangkan Malaysia cuma
ada 4 lembaga asuransi syariah. Dan hanya Indonesia yang memiliki 3 lembaga
reasuransi syariah. Di negara manapun biasanya hanya ada satu lembaga
reasuransi syariah. Jumlah BMT juga telah melebihi dari 3.800 bauh yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan hasil
kajian Tim BEINEWS (2004) menunjukkan bahwa ada lima faktor yang memicu perkembangan
perbankan syariah di Indonesia,
sekaligus menjadi pembeda antara perbankan syariah dan perbankan konvensional,
yaitu:
1. market yang dianggap luas ternyata belum digarap secara maksimal (apalagi, bank syariah tidahanya dikhususkan untuk orang muslim karena di sejumlah bank terdapat nasabah nonmuslim),
1. market yang dianggap luas ternyata belum digarap secara maksimal (apalagi, bank syariah tidahanya dikhususkan untuk orang muslim karena di sejumlah bank terdapat nasabah nonmuslim),
2. sistem bagi hasil terbukti lebih menguntungkan dibandingkan
dengansistem bunga yang dianut bank konvensional (review pada waktu krisis
ekonomi-moneter)
3. reeturn yang diberikan kepada nasabah pemilik dana bank syariah lebihbesar daripada bunga deposito bank konvesional (ditambah lagi belakangan ini, sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terus mengalami penurunan, sehingga suku bunga menurun
4. bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli (murabahah) dan prisip sewa (ijarah),
5. prinsip laba bagi bank syariah bukan satu-satunya tujuan karena bank syariah mengupayakan bagaimana memanfaatkan sumber dana yang ada untuk membangun kesejahteraan masyarakat (lagi pula, bank syariah bekerja di bawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah)
3. reeturn yang diberikan kepada nasabah pemilik dana bank syariah lebihbesar daripada bunga deposito bank konvesional (ditambah lagi belakangan ini, sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terus mengalami penurunan, sehingga suku bunga menurun
4. bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli (murabahah) dan prisip sewa (ijarah),
5. prinsip laba bagi bank syariah bukan satu-satunya tujuan karena bank syariah mengupayakan bagaimana memanfaatkan sumber dana yang ada untuk membangun kesejahteraan masyarakat (lagi pula, bank syariah bekerja di bawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah)
Setidaknya ada tiga prinsip dalam operasional bank syariah yang
berbeda dengan bank konvensional, terutama dalam pelayanan terhadap nasabah,
yang harus dijaga oleh para bankir, yaitu:
1. prinsip keadilan, yakni imbalan atas dasar bagi hasil
dan margin keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama antara bank dan
nasabah,
2. prinsip kesetaraan, yakni nasabah penyimpan dana,
pengguna dana dan bank memiliki hak, kewajiban, beban terhadap resiko dan keuntungan
yang berimbang
3. prinsip
ketenteraman, bahwa produk bank syariah mengikuti prinsipdan kaidah muamalah
Islam (bebas riba dan menerapkan zakat harta)
akan tetapi tidak sedikit lembaga keuangan yang berbasis syariah, akan tetapi pada praktek pelaksanaanya tidak ubahnya dengan lembaga keuangan konvensional, kita semua berharap bahwa mereka benar-benar menerapkan system syariah sehingga tidak saling merugikan satu sama lain. Demi kemajuan sector keuangan Indonesia.
akan tetapi tidak sedikit lembaga keuangan yang berbasis syariah, akan tetapi pada praktek pelaksanaanya tidak ubahnya dengan lembaga keuangan konvensional, kita semua berharap bahwa mereka benar-benar menerapkan system syariah sehingga tidak saling merugikan satu sama lain. Demi kemajuan sector keuangan Indonesia.
B. LEMBAGA PERBANKAN
SYARIAH
1. Pengertian
Perbankan Syariah
Perbankan syariah atau Perbankan
Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha
pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut
maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi
untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan
produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal
ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Di Indonesia, pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia.
Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan
beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada
akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana
kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.
Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang
yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan. Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia
yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah.
Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank
diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank
Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan
Nasional (Tbk).
Sistem syariah
juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang
104 BPR Syariah. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
2. Prinsip Atau Hukum Syariah
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh
sistem perbankan syariah antara :
1. Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2. Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3. Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
4. Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5. Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
3. Produk Perbankan Syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank
berbasis syariah antara lain
1). Jasa untuk peminjam dana
a. Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha.
Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
b. Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.
c. Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsura sama dengan harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
d. Takaful (asuransi islam)
2) Jasa untuk penyimpan dana
a. Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah
b. Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
C. PANDANGAN ISLAM TENTANG PAJAK
1. Pengertian Pajak
Dalam istilah
bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr atau Al-Maks, atau bisa juga
disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat
oleh para penarik pajak. Atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi
Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah
secara khusus. Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau
Al-Asysyar. Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah :“ Suatu pembayaran yang
dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.”
2. Macam – Macam Pajak
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan
terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
b.Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan
dengan penghasilan seseorang.
c. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
d. Pajak Barang dan Jasa
e. Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
f. Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
g. Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
e. Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
f. Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
g. Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
3. Hukum Pajak dan Pemungutnya Menurut Islam
Dalam
Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas,baik
secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri. Adapun dalil secara umum,
semisal firman Allah.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-NIsa : 29]
Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling
memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang
batil untuk memakan harta sesamanya
Dalam
sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di
neraka”
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi
(yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian,
hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin
Sa’id Al-Mishri”.
4. Kesepakatan Ulama Atas Haramnya Pajak
`Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah
mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah
sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang
denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang)
kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak
atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun
(barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan
zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka
pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan
(zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para
ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang
harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari
barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka
sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian)
berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian
lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah
disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut
dan disyaratkan saja”
5. Perbedaan Pajak dan Zakat
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah
dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang
telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas
kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian
beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..”
Perbedaan lain yang sangat jelas antara
pajak dan zakat di antaranya.
1). Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
2). Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin.
1). Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
2). Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin.
3). Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah
pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah
pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh
imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.
4). Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam
yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak
merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh
para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak
sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah
kekuasannya.
6. Sikap Kaum Muslimin terhadap Pajak
Setiap
muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori
muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang,
pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan
pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur / batal, bahkan setiap
muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya
bukan kepada kemaksiatan.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu
‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian
beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi
mereka masih menjalankan shalat”
Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap
rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang
shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya
selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang
hamba sahaya (selagi dia muslim).
Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan
hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau
mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada
sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul
dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas
lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum
muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang
berpecah dan tidak bersatu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar